Pada malam hari...
"Ibu..."
"Apa nak ?"
"Sepatuku yang kemarin sudah lusuh... Tolong belikan lagi yaa ?" ujar anak itu memohon dengan sangat.
"Iya... Bulan depan Ibu belikan, sekarang, kamu pakai sepatu yang itu dulu ya nak ?" kata Ibu paruh baya itu sembari mengelus kepala anaknya.
"Enggak... Pokoknya aku maunya besok !" paksa anak itu.
"Iya.. Sebentar lagi Ibu carikan uang..." kata Ibu itu seolah-olah merasa terbebani.
SEDANGKAN, Keesokan harinya...
"Sepatunya mana ?" tanya Mama pada Bibi Ijah.
"Ini nyonya..." Bibi Ijah-pun menyerahkan sepatu sekolah Amila.
"Amila... Ini nak sepatunya..."
"Nngg... Baaa... Maaa... Baaa...." entah apa yang dikatakan Amila. Gadis ini memang normal, namun kejadian 5 tahun yang lalu, yang membuatnya memiliki kekurangan dalam pendengaran, yang otomatis membuatnya sulit untuk berbicara.
"Apa nak ?" tanya Mama dengan raut wajah yang sedih, air mata memenuhi matanya yang indah.
Amila mengambil sepatu Merah Muda yang dibawakan oleh Bibi Ijah, Amila menunjuknya perlahan dan mencocokkannya dengan tas-nya yang berwarna Ungu.
"Engg... I-enng..." ujarnya dengan lembut dan dengan raut wajah yang sedikit marah.
"Oh... Bibi Ijah... Ambilkan sepatunya yang warna Ungu ya ?" Mama menoleh ke belakang yang disana ada Bibi Ijah yang melihat Amila dengan penuh prihatin.
"I-iya Nya..." seru Bibi Ijah. Bibi IJah-pun berlari menuju ke belakang untuk mencari sepatu Ungu milik Amila.
Sesampainya di belakang,
"Astagfirullah... Mana sepatunya ya ?" seru Bibi ketika melihat rak sepatu yang hanya berisi sepatu Papa dan sepatu Mama.
Dengan penuh optimis, Bibi Ijah yang sudah ber-kepala empat ini terus mencari keliling rumah. Dalam hatinya masih tersirat kata : "Aku tak akan mengecewakan Non Amila".
Berulang kali Bibi Ijah keliling rumah, tapi sepatu Merah Muda itu masih belum juga ditemukan. Dalam hati Bibi berdoa, "Ya Allah... Beri tahukanlah padaku, dimana sepatu itu berada. Aku tak ingin Non Amila marah karena ini... Ya Allah... Berilah jalan...".
"Bibi... Bibi Ijaahh..." Mama berteriak memanggil Bibi Ijah dari ruang tamu.
"Iya Nyaaa..." dengan hati gelisah, Bibi Ijah-pun berlari lagi menemui Mama dan Amila. Bibi Ijah merasa tak nyaman, dan sekali lagi dalam hati dia berdoa, "Ya Allah... Tolonglah hamba-Mu ini...".
"Ada sepatunya ?" tanya Mama. Amila melihat ke tangan Bibi yang disembunyikan di punggungnya.
Dengan gugup Bibi menjawab, "E-em... Tidak ada Nyonya..." ujar Bibi.
"Hhh... Sayang... Sepatunya gak ada... Nanti, kita beli yang baru..." Mama menjelaskan pada Amila dengan bahasa isyarat yang ia pelajari dari Om Julian.
"Enngg..." Amila hanya menggelengkan kepala-nya lalu beranjak pergi berlari ke kamarnya. Dengan perasaan yang sedih, Amila memutuskan untuk mengkunci kamarnya dan tidak pergi ke sekolah.
"Hhh..." Mama hanya bisa menghembuskan napas dan menoleh ke Bibi Ijah yang ketakutan dan gemetar.
"Maaf Nyonya..." kata Bibi Ijah dengan gerogi-nya.
"Tak apa Bi... Lagi-pula saya percaya bahwa Bibi tidak akan menghilangkan begitu saja, pasti ada yang mengambilnya ketika malam tadi... Atau pagi tadi..." kata Mama sembari mengelus bahu Bibi. "Sekarang, Bibi istirahat saja, sekarang waktu istirahat bukan ? Silahkan Bi... Saya mau ke atas dulu..." lanjut Mama dengan lembutnya, lalu pergi meninggalkan Bibi yang masih terpaku sembari melihat tajam ke sepatu Merah muda itu. Lalu Bibi melangkah ke depan untuk memegang sepatu itu dengan lembut. Dan dibawanya kembali ke belakang.
Matahari mulai naik, teriknya tak tertahankan. Membuat Ratih berjalan ter-tatih-tatih untuk pulang ke gubuk yang dianggapnya sebagai rumah.
Sejenak, bocah yang berusia 5 tahun ini berhenti, dan melihat ke arah got.
"Kok... Ada sepatu bagus disini yah ?" gumamnya. Tanpa segan-segan Ratih-pun mengambil sepasang sepatu Ungu yang basah itu, dan membawanya pulang.
Apa yang akan terjadi ? Tunggu yah... Di Entri berikutnya....
TBC...
*gaje-gaje-gaje*
Minggu, 05 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar