"Waalaikum salam..." sahut Ibu dari dalam rumah.
"Bu... Aku dapat sepatu nih... Jadi, Ibu gak usah beliin aku sepatu..." kata Ratih dengan perasaan hatinya yang senang. Raut wajahnya begitu ceriah... Seolah-olah telah menemukan sesuatu yang dicarinya.
"Sepatu apa nak ?" Ibu langsung berdiri dan melihat sepatu yang dibawa anaknya itu. Ibu merasa heran, kenapa Ratih bisa menemukan sepatu sebagus ini, namun sangat basah untuk dikenakan.
"Bagus kan Bu ?" tanya Ratih dengan senyumannya yang lebar. Giginya yang kekuningan tampak di wajahnya yang kotor.
"Bagus sih nak... Tapi ini bukan hak kita... Lebih baik, Ibu belikan saja kamu sepatu baru, dari pada kamu memakai sepatu ini..." ujar Ibu dengan lembut menegur Ratih.
"Tapi Bu... Ratih ingin sepatu ini ! Lagian siapa juga yang nyuruh sepatu ini dibuang ke got ! Jadi ketemu deh !" cetus Ratih dengan kasar.
"Astaghfirullah Nak ! Tidak akan ada orang membuang sepatu sebagus ini ! Dan sudah kelihatan sekali kalau sepatu ini tidak dibuang ! Kita memang orang miskin ! Tapi kita tidak pernah mencuri, tidak pernah meminta-minta, tidak pernah mencela, dan mengambil hak orang lain ! INGAT ITU !" Ibu menekan pada kalimat terakhirnya sembari mengarahkan jari telunjuknya didepan wajah Ratih. Lalu Ibu kembali duduk untuk menyelesaikan pekerjaannya melipat baju.
"IBU JAHAT !" bentak Ratih dengan kasarnya lalu masuk ke dalam kamar yang hanya ditutupi gorden dari kain bekas yang Ibu dapatkan dari majikannya 3 tahun yang lalu.
"Hhh..." Ibu menghela napas, lalu melirik ke kamar Ratih. Rasanya ingin sekali Ibu membelikan sepatu seperti itu untuk Ratih, tapi apa daya... Ibu dapat dari mana uangnya ? Untuk membelikan sepatu yang sekarang saja harus menjual buah Mangga Muda dari pohon Mangga yang Ibu tanam didepan rumah, bagaimana caranya supaya dapat membelikan sepatu seperti ini ? Ibu masih mencari cara supaya bisa mendapatkan sepatu seperti itu. Pekerjaan sebagai tukang cuci di rumah Pak Wiroso saja gajinya tak seberapa, hanya untuk makan dan minum setiap harinya. Dan pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah Bu Helina, juga hanya untuk modal berjualan Tahu Lontong keliling di sekitar jalanan komplek rumah Bu Helina.
"Kenapa sih...???" gumam Ratih sambil menangis di dalam kamar. Emosi anak seumuran dia memang labil, dan memang sering sekali Ratih ngambek ke Ibu karena kata-kata Ibu yang tadi, "Kita memang orang miskin ! Tapi kita tidak pernah mencuri, tidak pernah meminta-minta, tidak pernah mencela, dan mengambil hak orang lain !".
Ratih tersinggung dengan kata-kata itu. Setiap dia mendengar kata-kata itu, dalam hatinya dia bergumam, "Memangnya tidak boleh jika orang miskin bahagia ?". Kata-kata itulah yang membuat emosinya selalu naik dan tak bisa memaklumi pemberian Tuhan padanya. Dia masih kecil, belum tau apa-apa, jadi Ibu tetap dalam pendiriannya, untuk tidak mengganggu Ratih saat bocah itu sedang marah.
Malam harinya...
"Ratih... Ibu belikan kamu sepatu..." Ibu duduk di atas ranjang kasur Ratih. Ratih yang pura-pura tertidur otomatis bangun dengan kemauannya untuk melihat sepatu itu.
"Waaahh... Makasih Ibuu..." Ratih begitu senang ketika sepatu yang di belikan Ibu adalah sama persis dengan Sepatu Ungu yang di temukannya di got.
"Kamu suka ?" tanya Ibu yang ikut senang.
"Iya Bu... Makasih yah ?" Ratih-pun memeluk Ibu-nya dengan penuh rasa kasih...
"Besok sepatu yang kamu temukan itu akan Ibu cuci, 2 hari lagi kamu kembalikan sepatu Ungu yang kamu temukan di got itu..." perintah Ibu.
"Iya Bu..."
Malam itu sungguh indah dan sungguh berharga dalam hidup Ratih dan Ibu. Ratih masih penasaran, dari mana Ibu mendapatkan uang sebanyak itu untuk membeli sepatu Ungu yang sangat bagus dan biasa di gunakan oleh anak-anak orang kaya yang hidup berkecukupan.
4 Jam sebelumnya...
Ibu membuka lemari kayu tua-nya, yang merupakan peninggalan dari Kakek Ratih yang sudah meninggal 14 tahun lalu. Dan Ibu-pun menemukan jas Kakek yang masih bagus meski usang. Dengan tekad yang kuat, Ibu menjualnya kepada toko Jual-Beli baju bekas yang tak jauh dari rumah. "Mas... Saya mau menjual jas ini... Masih bagus kok... Ini peninggalan Bapak saya, tahun 60-an gitu..." ujar Ibu menawar pada Pelayan laki-laki yang gagah dan bediri di depannya."Coba, saya lihat..." Ibu-pun menyerahkan jas coklat kehitaman itu pada Pelayan.
"Bagus kan ?" kata Ibu dengan senyum lebar.
"Iya... Sangat bagus... Masih gagah... Dan ini tidak perlu di perbarui lagi. Anda mendapat harga tinggi untuk baju ini..." kata Pelayan dengan penuh keyakinan. "Mari... Ikut saya..." Pelayan itu-pun membawa jas dan mengajak Ibu untuk ke kasir.
"Sebentar ya ?" kata sang Kasir.
==> 5 menit kemudian...
"Ini, baju ini laku 150 ribu... Terima kasih telah datang. Datang lagi yaa ?" kata sang kasir sembari menyerahkan uangnya.
"Oh, terima kasih mas..." Ibu-pun pulang dengan uang yang akan di gunakannya untuk belanja di toko sepatu di pojok komplek.
Ibu kembali ke rumah terlebih dahulu untuk mengambil sepatu Ungu yang ditemukan Ratih, sembari mengambil, Ibu melirih ke kamar Ratih yang gordennya terbuka sedikit, "Sudah tidur kamu nak..." gumam Ibu.
Sore itu pula, Ibu membelikan sepatu Ungu yang serupa dengan sepatu dari Got itu. Dengan perasaan sangat Lega, Ibu pulang dengan bahagia...
2 Hari kemudian...
Sudah 3 hari Amila tak mau masuk sekolah, entah... Sejak kehilangan sepatu Ungu miliknya itu, dia sama sekali enggan untuk masuk sekolah. Bibi Ijah sungguh merasa bersalah karena dia merasa bahwa dirinya itu ceroboh. Namun, hari itu akhirnya datang juga...
"Nyonya... Nyonyaa... Ada kabar baik Nyaa.." Bibi Ijah berlari ke ruang tamu yang disana Mama duduk dengan rapi sembari membaca majalah Fashion-nya.
"Apa Bi ?" tanya Mama.
"Sepatu Non Amila ketemu...!!!" dengan bahagianya, Bibi mengabarkan berita yang menurutnya sangat penting itu. Mama langsung berdiri dan menaruh majalahnya dengan pelan ke atas meja.
"Yang bener Bi ? Dimana ?" raut wajah Mama yang awalnya terlihat bingung langsung berubah sangat ceria.
"Di got belakang Nya..."
"Ayo kita kesana !!!" Mama membenarkan letak kerudungnya, lalu ikut melangkahkan kaki ke belakang bersama Bibi Ijah yang memandunya.
"Ini Nya..." Bibi Ijah menyerahkan sepatu Ungu yang dibungkus plastik bening dan diikat dengan kawat berkarat yang tua dan di lilitkan dengan erat dan sempurna. Didalam plastik juga ada sepucuk surat yang entah apa isinya.
"Kok ada suratnya ya Bi ?" tanya Mama, sambil membenarkan letak kerudungnya lagi yang sempat berantakan karena terkena hembusan angin, Mama langsung membuka kawat itu dengan sedikit kesulitan, namun akhirnya terbuka juga. Mama segera membaca surat itu bersama-sama dengan Bibi Ijah (meski Bibi sedikit kesulitan membaca bacaan itu)
Untuk : Yang memiliki sepatu ini
Maaf, 3 hari yang lalu anak saya menemukan sepatu ini di got. Ini sepatunya sudah saya cuci dengan bersih. Maaf sekali lagi, saya lancang mengirim surat ini.Jika anda tidak merasa mempunyai anak yang memiliki sepatu ini, silahkan kembali di buang kembali. Terima kasih.
Salam.
NB : Jika anda ingin menghubungi saya, rumah saya di gubuk Gang Melati paling ujung.
"Waahh... Kita harus temukan orang ini Nya..." usul Bibi.
"Iya..." kata Mama. "Yaudah, kita kasi tau dulu ke Amila bahwa sepatunya sudah ditemukan, lalu kita cari orang ini" lanjut Mama. Bibi mengangguk dan langsung mengikuti langkah Mama.
'tok...tok...tok...'
"Amila... Sayang... Sepatunya ketemu..." Mama langsung membuka pintu kamar Amila. Dan ternyata Amila sedang menonton kartun kesukaannya di Televisi.
"Nak... Ini sayang..." Mama menyentuh pundak Amila. Bibi Ijah menunggu di pintu. Amila menoleh dan kaget ketika melihat sepatu Ungu-nya kembali.
"Engg... Baa.. Maaa..." kata Amila sembari meraih sepasang sepatu Ungu yang di pegang Mama-nya dan langsung memeluk Mama dan memanggil Bibi Ijah.
"Iya non ?" Bibi Ijah mendekati Amila dengan senyum lebarnya. Amila lalu menjabat tangan Bibi Ijah dengan senyumnya.
Mama memberi isyarat kepada Amila untuk mencari siapa orang yang menemukan dan mengembalikan sepatu ini.
Mama langsung menarik tangan Amila dan mengajak Bibi Ijah untuk keluar rumah dan berangkat menggunakan mobil Mama.
"Bi... Suratnya dibawa ?" tanya Mama dari kursi supir.
"Iya Nya..." jawab Bibi dengan senang.
Setelah sampai...
"Ini rumahnya ?" tanya Mama.
"Enngg..." gumam Amila.
"Menurut surat ini, disini rumahnya" kata Bibi.
Mama masih dengan serius mengamati gubuk kecil yang terbuat dari bambu ini. Bibi Ijah masih terus membaca berulang-ulang hingga dia mengerti (Bibi Ijah dulunya buta Huruf, tapi dia sudah mulai bisa membaca setelah Mama mengajarinya 1 tahun lalu).
"Udah yuk... Turun sayang..." Mama membukakan pintu untuk Amila. Bibi-pun juga ikut turun.
'tok...tok...tok...'
'tok...tok...tok...'
"Permisi..."
Setelah menunggu sebentar, pintu-pun terbuka. Dan keluarlah seorang wanita paruh baya dari gubuk itu disertai anak kecil di belakangnya.
"Iya... Maaf, siapa ya ?" tanya wanita itu yang ternyata (dan memang) adalah Ibu Ratih.
"Ibu yang menemukan sepatu anak saya ya ?" tanya Mama dengan lembut.
"Oh... Anda yang punya ?" sambut Ibu dengan senyum lebar.
Bibi Ijah mengangguk, di ikuti anggukan Mama. Bibi Ijah-pun tersenyum lebar.
"Oh, silahkan masuk..." Ibu mempersilahkan Mama untuk masuk ke dalam gubuk (dan atau rumah) -nya. Dengan senang hati, Mama, Bibi Ijah, dan Amila masuk ke dalam rumah Ibu dan Ratih. Ratih yang masih malu-malu menatap ke arah Amila yang terlihat tak tau apa-apa.
"Jadi, Ibu yang menemukan ?" kata Mama memulai.
"Bukan saya, tapi anak saya, Ratih. Ini anak anda ya ?" tanya Ibu dengan halus sembari menunjuk ke arah Amila.
"Iya. Dia memang sangat menyayangi sepatu Ungunya itu. Waktu sepatunya hilang dia tak mau sekolah. Dia punya masalah dalam pendengaran..."
"Oh begitu..."
"Tujuan saya kesini, untuk berterima kasih kepada Ibu. Dan, saya masih bingung dengan apa saya harus berterima kasih..."
"Oh... Tidak perlu, saya dan anak saya, Ratih, ikhlas kok. Dan memang sepatu itu bukan hak kami"
"Begini saja. Apakah Ibu punya pekerjaan tetap ?"
"Oh... Kalau itu, saya tidak punya... Saya hanya tukang cuci dan tukang kebun." ujar Ibu dengan penuh kerendahan hati,
"Kalau begitu. Ibu mulai besok bekerja di tempat saya ya bu ? Kebetulan, Bibi Ijah ini butuh teman untuk membantu. Bagaimana ?" kata Mama menawarkan. Bibi Ijah tersenyum lebar pada Ibu.
"Serius Bu ?"
Mama dan Bibi Ijah mengangguk. Amila yang tak tau apa-apa hanya mengangguk dan tersenyum.
"Alhamdulillah Ya Allah... Terima kasih ya Buu..."
"Sama-sama. Kalau begitu, saya pamit dulu ya Buu..." Mama, Bibi Ijah, dan Amila berdiri untuk bersalaman. Ibu-pun menyambutnya dengan penuh kebahagian.
Keesokan harinya, Ibu mulai bekerja di rumah Mama. Amila dan Ratih mulai berteman, dan mereka sekolah bersama. Kini, Mama menemukan pelajaran baru,,, Bahwa :
Apa yang diberikan oleh Tuhan, adalah yang terbaik untuk kita. Dan, barang yang sudah bukan hak kita, maka tetap bukan hak kita sebelum ada perjanjian antara kita dengan pemilik barang tersebut.
Jadi... Jangan sesekali mengambil barang yang bukan hak-nya yaa ???
FINISH
=maaf kalo' jelek... Hehee...=
0 komentar:
Posting Komentar